Terbentuknya Budaya Agama di Sekolah

Baca Juga

Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive (ascriptive) dan dapat juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Yang pertama adalah pembentukan atau terbentuknya budaya agama di sekolah melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut pola pelakonan, modelnya sebagai berikut:











Yang kedua adalah pembentukan budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya, dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya tersebut. itulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola peragaan. Berikut ini modelnya:











Budaya agama yang telah terbentuk di sekolah, beraktualisasi ke dalam dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara. Aktualisasi budaya ada yang berlangsung secara covert (samar/tersembunyi) dan ada yang overt (jelas/terang). Yang pertama adalah aktualisasi budaya yang berbeda antara aktualisasi ke dalam dengan ke luar, ini disebut covert yaitu seseorang yang tidak berterus terang, berpura-pura, lain di mulut lain dihati, penuh kiasan dalam bahasa lambing, ia diselimuti rahasia. Yang kedua adalah aktualisasi budaya yang tidak menunjukkan perbedaan antara aktualisasi ke dalam dengan aktualisasi ke luar, ini disebut dengan overt. Pelaku overt ini selalu berterus terang dan langsung pada pokok pembicaraan.

Secara subtansial terwujudnya budaya agama adalah ketika nilai-nilai keagamaan berupa nilai rabbaniyah dan insaniyah (ketuhanan dan kemanusiaan) tertanam dalam diri seseorang dan kemudian teraktualisasikan dalam sikap, prilaku dan kreasinya. Nilai-nilai ketuhanan tersebut oleh Madjid dijabarkan antara lain berupa nilai: iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur dan Sabar. Sementara nilai Kemanusiaan berupa: silaturrahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati tepat janji lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat, dermawan.

Dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan agama, dan dimensi pengamalan keagamaan, atau menurut Nucholis Madjid, nilai rabbaniyah dan insaniyah (ketuhanan dan kemanusiaan), dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan keagamaan sebagai wahana dalam upaya mengembangkan budaya agama, baik di lingkungan masyarakat, keluarga maupun sekolah.
Adapun salah satu diantara bentuk budaya agama di sekolah diharapkan dapat dijadikan sebagai pijakan siswa dalam bertingkah laku dan bertindak di sekolah.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator budaya agama seseorang, yakni: (1) komitmen terhadap perintah dan larangan agama, (2) bersemangat mengkaji ajaran agama, (3) aktif dalam kegiatan agama, (4) menghargai simbol-simbol agama, (5) akrab dengan kitab suci, (6) mempergunakan pendekatan agama dalam menentukan pilihan, (7) ajaran agama dijadikan sebagai sumber pengembangan ide.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengembangkan budaya agama adalah suatu upaya untuk menumbuhkembangkan beberapa pokok masalah dalam kehidupan beragama yang datangnya dari Allah SWT. terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Ilahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Agama menjadi sumber paling luhur bagi manusia, sebab yang digarap oleh agama adalah masalah mendasar untuk kehidupan manusia yaitu perilaku (akhlak). Kemudian segi ini dihidupkannya dengan kekuatan ruh tauhid atau aqidah dan ibadah kepada Tuhan.

Sedangkan sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang berkualitas sebagaimana tujuan pendidikan nasional. Sehingga dalam pengembangan budaya agama ini di kembangkan dari kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, muatan lokal, serta iklim religius yang diciptakan di sekolah.


Rujukan:
1. Talizuhu Ndara, 2005. Teori Budaya Organisa .(Jakarta: Rineke Cipta) 24.
2. Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), 128-136.


Dipublikasikan Oleh:
Siti Muawanatul Hasanah, M.Pd

Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com
close

UNTUK SAAT INI, ARTIKEL BLOG AKAN DITUTUPI. SEGERA KELUAR/CLOSE TAB INI ATAU TEKAN DISINI. JIKA ANDA TETAP INGIN MEMBUKA ARTIKEL INI, SILAHKAN TEKAN TOMBOL CLOSE. DENGAN ANDA MEMBUKA ARTIKEL KEMBALI, TANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA MILIK ANDA, SAYA SUDAH PERINGATI UNTUK MENUTUP TAB INI. TERIMA KASIH. - ADMIN