Baca Juga
Sejujurnya, saya bukanlah penonton setia versi sinetron dari Preman Pensiun yang ditayangin di kanal televisi RCTI pada tahun 2015 hingga 2016 silam. Menontonnya sesekali sih pernah, tapi tidak pernah benar-benar mengikuti kisah sepak terjang Kang Bahar (Didi Petet), Kang Mus (Epy Kusnandar), beserta kawanan mereka dalam ‘mengelola’ pasar, terminal, maupun jalanan kota Bandung. Dari pengamatan sekilas ini, saya bisa memahami mengapa sinetron ini amat digandrungi oleh publik sampai-sampai memiliki basis penggemar tersendiri. Ada guliran kisah beserta konflik yang membumi, ada barisan karakter unik, dan ada muatan humor menggelitik. Sebuah kombinasi yang sudah sangat jarang dijumpai dalam sinetron Indonesia masa kini, bukan? Kesuksesan yang dicapai Preman Pensiun di layar beling tersebut lantas mendorong MNC Pictures selaku rumah produksi untuk memboyongnya ke format film layar lebar. Keputusan yang sempat ditentang oleh sang kreator, Aris Nugraha (Bajaj Bajuri), meski belakangan sepakat untuk menggarap versi layar lebarnya setelah menyadari bahwa masih ada serentetan problematika yang bisa dikulik lebih jauh. Problematika yang dihadapi oleh para mantan preman selepas mereka memutuskan untuk pensiun lalu menjalankan bisnis yang bukan sekadar bagus tetapi juga bisnis yang baik.
Dalam versi film Preman Pensiun, guliran penceritaan mengambil latar waktu tiga tahun setelah konklusi dalam versi sinetron. Selaiknya materi sumber, film pun memiliki berbagai cabang cerita yang beberapa diantaranya tidak memiliki keterkaitan. Dari sejumlah cabang cerita tersebut, ada tiga yang memiliki impak lebih pada pergerakan narasi: 1) Kang Muslihat yang kini berjualan kecimpring meminta bantuan kepada tangan kanannya, Ujang Rambo (M. Fajar Hidayatullah), untuk mengawasi laki-laki yang mendekati putri semata wayangnya, Safira (Safira Maharani), 2) Kinanti (Tia Arifin) kembali ke kampung halamannya di Bandung untuk memperingati 1000 hari kepergian ayahnya, Kang Bahar, dan 3) Gobang (Dedi Moch Jamasari) mengajak teman-teman seperjuangannya semasa menjadi preman untuk reuni kecil-kecilan dengan maksud mengungkap pelaku pengeroyokan terhadap adik iparnya. Seiring bergulirnya durasi, cabang cerita ketiga yang memaksa Gobang untuk kembali turun ke jalanan ternyata menjadi persoalan utama yang dikedepankan oleh Preman Pensiun. Tak seperti cabang cerita pertama yang mengandung banyak sekali banyolan – seperti bagaimana Rendy (Sadana Agung) mengkeret di hadapan Kang Mus dan anak buahnya – atau cabang cerita kedua yang menyimpan momen sentimentil, cabang cerita ketiga membawa film bergerak ke arah lebih gelap dan kompleks.
Dalam versi film Preman Pensiun, guliran penceritaan mengambil latar waktu tiga tahun setelah konklusi dalam versi sinetron. Selaiknya materi sumber, film pun memiliki berbagai cabang cerita yang beberapa diantaranya tidak memiliki keterkaitan. Dari sejumlah cabang cerita tersebut, ada tiga yang memiliki impak lebih pada pergerakan narasi: 1) Kang Muslihat yang kini berjualan kecimpring meminta bantuan kepada tangan kanannya, Ujang Rambo (M. Fajar Hidayatullah), untuk mengawasi laki-laki yang mendekati putri semata wayangnya, Safira (Safira Maharani), 2) Kinanti (Tia Arifin) kembali ke kampung halamannya di Bandung untuk memperingati 1000 hari kepergian ayahnya, Kang Bahar, dan 3) Gobang (Dedi Moch Jamasari) mengajak teman-teman seperjuangannya semasa menjadi preman untuk reuni kecil-kecilan dengan maksud mengungkap pelaku pengeroyokan terhadap adik iparnya. Seiring bergulirnya durasi, cabang cerita ketiga yang memaksa Gobang untuk kembali turun ke jalanan ternyata menjadi persoalan utama yang dikedepankan oleh Preman Pensiun. Tak seperti cabang cerita pertama yang mengandung banyak sekali banyolan – seperti bagaimana Rendy (Sadana Agung) mengkeret di hadapan Kang Mus dan anak buahnya – atau cabang cerita kedua yang menyimpan momen sentimentil, cabang cerita ketiga membawa film bergerak ke arah lebih gelap dan kompleks.
Hal ini disebabkan oleh adanya konflik internal yang berpotensi memecah belah ‘keluarga’ Kang Mus. Dan mesti diakui, cabang cerita ketiga inilah yang membuat Preman Pensiun terasa mengasyikkan buat diikuti. Dimulai dari adegan pembuka dengan sentuhan laga yang memiliki kesinambungan terhadap subplot ini, saya dibuat bertanya-tanya: apakah yang sesungguhnya terjadi? Mengapa adik ipar Gobang terseret ke dalam persoalan pelik ini? Siapa yang melakukannya? Berhubung materi sumbernya tak benar-benar berpijak di ranah crime action, maka tentu saja ini tak dijadikan persoalan tunggal dan Preman Pensiun pun tak menyajikan banyak momen bak bik buk a la film mafia asal Hong Kong. Tercatat, hanya adegan pembuka beserta konfrontasi puncak yang mempersilahkan kita melihat adanya pertarungan antar preman. Selebihnya, selagi Gobang melakukan investigasi terhadap kasus ini bertopengkan reuni dengan kawan-kawan lama, Aris Nugraha lebih sering mengajak penonton untuk melongok ke permasalahan pribadi yang dialami oleh Kang Mus, Kinanti, serta Dikdik (Andra Manihot) yang tak berkutik di hadapan sang istri, Imas (Soraya Rasyid). Disamping sempat membuat mata para penggemarnya berkaca-kaca ketika Kang Mus dan Kinanti mengenang kebesaran Kang Bahar, film lebih sering mengocok perut penonton dengan serangkaian kekonyolan tingkah beserta celetukan-celetukan jajaran karakternya yang tergolong nyeleneh.
Untuk urusan kenyelenehan, Kang Mus jelas berada di garda terdepan khususnya saat dia berdialog dengan Ujang. Lainnya ada Pipit (Ica Naga) yang mudah terdistraksi oleh perempuan cantik, Mang Uu (Mang Uu) yang senantiasa menggunakan Bahasa Inggris untuk bercakap-cakap sekalipun kosa katanya amat sangat terbatas, sampai Dikdik yang mendefinisikan istilah “suami takut istri”. Kenyelenehan ini memberi ciri khas tersendiri bagi masing-masing karakter sehingga penonton baru pun dapat mengidentifikasi mereka secara cepat. Dan bagusnya, sekalipun Preman Pensiunditujukan untuk memuaskan para penggemar beratnya, film ini tak mengalienasi mereka yang belum pernah mengikuti versi sinetronnya. Ada penjelasan memadai, narasinya pun mudah sekali untuk dikudap. Yang juga menarik dari film ini adalah Preman Pensiun mengaplikasikan gaya penyuntingan unik dimana dialog yang dilontarkan oleh para karakter menjadi penjembatan antar adegan – sesuai dengan ciri khas dari sinetronnya itu sendiri. Memang sih mulanya agak membingungkan bagi penonton baru dan semakin lama film berjalan, penggunaan teknik ini ada kalanya memberikan rasa jenuh yang ditandai dengan berkurangnya riuh tawa penonton. Tapi tak bisa dipungkiri, inilah yang meniupkan nada ceria pada film serta memungkinkan bagi si pembuat film untuk menyelipkan setumpuk cabang cerita yang boleh jadi akan tampak penuh sesak apabila Preman Pensiunmenggunakan metode bercerita konvensional. Penyuntingan ini pula yang memungkinkan setiap karakter memperoleh jatah tampil sama banyak sehingga keberadaan mereka tidak semata-mata tampak sebagai ‘tim hore’.