Baca Juga
Guna menyambut datangnya tahun baru ini, maka izinkanlah saya untuk sejenak mengilas balik film Indonesia dalam setahun terakhir ini yang sukses menorehkan rekor usai mendatangkan 50 juta penonton buat berbondong-bondong memenuhi bioskop (!). Kilas balik yang saya persiapkan sih sederhana saja karena sejatinya sudah menjadi tradisi tahunan Cinetariz sejak dahulu, yakni daftar personal bertemakan “film Indonesia terbaik 2018”. Yang perlu saya tegaskan kembali, daftar ini bersifat personal sehingga lebih tepat jika dibaca: film-film Indonesia yang akan saya rekomendasikan untuk kalian dengan senang hati. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila ada perbedaan pendapat dengan pembaca budiman. Karena bagaimanapun juga, daftar ini bersifat subjektif yang besar kemungkinan dipengaruhi pula oleh pengalaman menonton maupun kedekatan representasi.
Khusus untuk daftar tahunan film Indonesia kali ini, saya terpaksa mengerucutkannya menjadi 10 besar saja (plus 5 untuk honorable mentions). Selain karena terlalu malas buat berpanjang-panjang dalam mengetik (pegel euy!), ternyata tak banyak pula film Indonesia di tahun 2018 yang benar-benar merasuk ke dalam hati. Dari 80-an judul yang dilahap di bioskop-bioskop tanah air sepanjang tahun, hanya ada sekitar 10% saja yang terbilang cihuy. Selebihnya berada dalam kategori “just okay” atau “bagus sih, tapi…” atau malah “errr…”Itulah mengapa, daftar tahun ini cenderung gampang-gampang susah untuk disusun. Gampang karena film yang membekas di hati langsung terpampang nyata di ingatan, dan susah karena agak berpikir panjang untuk menggenapi daftar. Daripada terkesan dipaksakan, akhirnya mau tau mau diputuskan untuk dipadatkan menjadi 10 besar saja dan tanpa perlu berbasa basi lagi, inilah film-film Indonesia pilihan saya dari tahun 2018 dimulai dengan…
Honorable Mentions (film-film yang nyaris masuk top 10 diurutkan berdasarkan abjad)
# A Man Called Ahok
Film biopik yang mengikat dan Denny Sumargo membuktikan bahwa dia layak diperhitungkan.
# Jelita Sejuba
Putri Marino keren sekali, begitu juga dengan adegan melamar menggunakan teropong. So sweet!
# Rompis
Ini bukan film percintaan remaja menye-menye lho. Obrolan soal hubungan asmaranya dewasa banget.
# Suzzanna Bernapas dalam Kubur
Kocak dan elemen teknisnya juara. Luna Maya pun mirip banget dengan mendiang Suzzanna!
# Yowis Ben
Senang bisa mendengar dialog Bahasa Jawa Malangan di sepanjang film. Plus, guyonannya lucu pol!
Lalu inilah…
TOP 10
#10 Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta
Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta memiliki dua versi yang dipertontonkan ke publik dengan kualitas jauh berbeda. Yang pertama adalah versi bioskop berdurasi 148 menit yang bikin mengernyitkan dahi, sementara yang kedua adalah versi Director’s Cut berdurasi 160 menit (ini sempat ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018) yang membayar lunas kekecewaan pada versi bioskop. Saya beruntung sekali berkesempatan untuk menyaksikan versi kedua yang memang jauh lebih baik dari segi penceritaan. Ada narasi utuh nan memuaskan yang menjelaskan tentang kebesaran si karakter tituler sehingga muncul pemahaman mengapa sosoknya dianggap penting, ada performa sangat baik dari pemain ansambel khususnya Marthino Lio, dan ada pula visual megah di dalamnya. Favorit saya adalah adegan pemakaman Sultan Agung di ujung film yang membuat diri ini merinding.
#9 Eiffel… I’m in Love 2
Inilah kejutan manis pertama di tahun 2018. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, manis-manis menggemaskan, jenaka, sekaligus tampak mewah. Interaksi antara Shandy Aulia dengan Samuel Rizal masih seperti yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka bersama-sama baik saat ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun saat bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Film ini pun mempunyai salah satu adegan paling romantis dalam film percintaan tanah air dalam bentuk adegan rekonsiliasi dua karakter utama di Menara Eiffel yang sekaligus memberi penjelasan memuaskan kepada penonton mengenai alasan keduanya tak kunjung dipersatukan dalam ikatan pernikahan.
#8 Aruna dan Lidahnya
Saya menyukai energi yang diberikan oleh Hannah Al Rashid untuk karakternya yang menggemari tantangan, saya juga menyukai Nicholas Saputra yang bermain amat santai yang secara tak langsung melepaskan citra angkuh dari karakter Rangga, dan saya pun menyukai ekspresi berikut gestur yang ditunjukkan oleh Dian Sastro setiap kali karakternya malu-malu tapi mau saat berada di dekat karakter yang dimainkan oleh Oka Antara dan 'merobohkan dinding kempat' (seolah berbicara kepada penonton). Bikin gemas, bikin ketawa ngakak. Lakon apik jajaran pemain ini merupakan salah satu kunci yang membuat Aruna dan Lidahnya terasa lezat kala disantap disamping visual yang bikin ngiler dan pemilihan lagu-lagu pengiring dari era 90-an yang mampu merasuk ke dalam sejumlah adegan.
#7 Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Apabila ekspektasimu tidak menjulang tinggi-tinggi dengan mendamba film ini memiliki narasi kompleks sarat intrik dan pencapaian teknis setingkat film blockbuster buatan studio besar Hollywood hanya karena keterlibatan Fox di dalamnya, rasa-rasanya tidak sulit untuk terpuaskan oleh Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Film ini mampu memenuhi segala pengharapan saya sebagai sebuah tontonan silat yang berdiri di jalur eskapisme. Kocak, seru, dan menyenangkan. Lontaran humor yang sebagian besar digenggam oleh karakter Wiro mengikuti celetukan beserta sikapnya yang tengil-tengil sableng tidak sedikit diantaranya yang mengenai sasaran sampai-sampai beberapa kali saya dibuat tergelak-gelak selama menonton.
#6 Koki-Koki Cilik
Ada satu perasaan yang didapat usai menyaksikan Koki-Koki Cilik di bioskop, yakni bahagia. Sepanjang durasi mengalun, film ini sanggup membawa saya melewati berbagai macam fase emosi yang membuat diri ini tertawa terbahak-bahak, lalu menyeka air mata, kemudian meneteskan air liur, sampai termotivasi. “Pokoknya, aku harus bisa masak. Masak salmon yang enak seperti dedek-dedek itu!,” begitu ujar saya selepas melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop. Ya, ada banyak kesenangan dan rasa semangat yang diciptakan oleh Ifa Isfansyah dalam Koki-Koki Cilik, bahkan sedari menit pertama yang memberi kita sebuah tampilan unik pada opening credit.
#5 The Night Comes for Us
Melalui The Night Comes for Us, Timo Tjahjanto unjuk kebolehan yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuannya dalam menggarap film laga telah menunjukkan perkembangan signifikan dan kegilaan visualnya bisa sangat melampaui batas saat sensor tak lagi membelenggu. Ada banyak momen laga yang bisa dikenang di sini yang bukan semata-mata berkesan karena tingkat kesadisannya yang jahanam, tetapi juga karena kecakapan si pembuat film dalam mengeksekusinya yang melibatkan permainan teknis mengagumkan. Selain itu, kapan lagi coba kita bisa melihat seabrek bintang besar tanah air keluar dari zona nyaman mereka lalu terlibat dalam pertarungan brutal dan bersimbah darah? Kapan lagi coba melihat trio Dian Sastro, Hannah Al Rashid, dan Julie Estelle saling berhadap-hadapan dalam pertarungan mematikan? Kesempatan itu mungkin hanya akan kamu dapatkan di sini.
#4 Milly & Mamet
Berhubung komedi adalah sinonim dari Milly dan Mamet, maka melihat Ernest Prakasa menampilkan keduanya dalam wajah komedi bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Kejutan justru datang ketika mareka dihadapkan pada momen manis romantis yang memperlihatkan ketangguhan chemistry serta momen emosional yang menunjukkan range emosi dari Sissy Prescillia beserta Dennis Adhiswara. Kita ikut tersentuh, kita ikut bersedu sedan, dan kita ikut berharap agar mereka menemukan solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapi. Bersama mereka pula, penonton dibawa pada perenungan mengenai makna dibalik hubungan asmara yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, kerja sama, sampai komunikasi. Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) tak hanya sanggup memancing derai tawa, tetapi juga mampu memainkan emosi penonton sedemikian rupa.
#3 Love for Sale
Love for Sale menghadapkan kita pada berbagai macam rasa yang datang secara silih berganti di sepanjang durasi. Ada kejenakaan, ada rasa manis, dan ada pula rasa getir. Gading Marten dalam performa sangat mengesankan (yang mungkin tak pernah diantisipasi oleh sebagian penonton) sanggup memperlihatkan sisi rapuh dan menyedihkan dari karakter utama, Richard, yang kesepian sekaligus mendamba cinta sejati dibalik topeng tangguh yang dikenakannya. Ditunjang oleh skrip cerdik, mudah untuk terhubung lalu memberikan dukungan kepadanya karena karakter Richard yang dekat dengan realita: dia bisa saja kamu, dia bisa saja orang yang kamu kenal. Lebih-lebih, Gading membentuk ikatan kimia meyakinkan bersama pendatang baru Della Dartyan yang auranya memancar kuat sehingga kita mafhum mengapa sosok Arini bisa membuat Richard bertekuk lutut.
#2 Sebelum Iblis Menjemput
Sedari prolog yang menjabarkan latar belakang narasi, Sebelum Iblis Menjemput telah tancap gas. Tidak ada waktu bagi penonton untuk menyiapkan mental dan film juga tidak menghabiskan banyak waktu untuk berbasa-basi. Alhasil, kesempatan untuk menghembuskan nafas lega seketika lenyap. Teror yang digebernya terus mengalami eskalasi dari sisi ketegangan dan kegilaan di setiap menitnya. Apa yang kamu anggap menyeramkan di separuh awal, bisa jadi belum ada apa-apanya dibandingkan apa yang akan kamu jumpai di paruh selanjutnya. Sebelum Iblis Menjemput memang tidak menawarkan twist pada narasinya, tapi film ini senantiasa memberi kejutan dalam hal performa jajaran pemain dan teror. Akting trio Chelsea Islan, Pevita Pearce, dan Karina Suwandi di sini sungguh ngeri-ngeri sedap. Ini adalah permainan lakon langka yang mungkin tidak akan lagi kamu jumpai di film selanjutnya.
#1 Teman Tapi Menikah
Plot yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh. Akan tetapi, film ini sanggup membuktikan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila mendapat penanganan yang tepat. Chemistry Vanesha Prescilla dengan Adipati Dolken adalah aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati lalu memberikan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film. Namun penampilan bagus jajaran pemain ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik, serta iringan musik beraroma jazz yang membantu menciptakan nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, sampai menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah jelas merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibuat di Indonesia.
Bagaimana dengan pilihan kalian? Share yuk di kolom komentar.