Baca Juga
“Kamu tahu, kalau orang meninggal belum 40 hari, arwahnya masih ada di sini.”
Ketika pertama kali mengetahui proyek film horor berikutnya dari Starvision berjudul Kafir, dahi ini mengernyit secara otomatis. Yang melintas di pikiran saat itu adalah film berjudul sama (dari rumah produksi sama) rilisan tahun 2002 yang dibintangi oleh Sudjiwo Tedjo dan Meriam Bellina. Secara finansial, film tersebut memang beroleh untung. Akan tetapi, jika kamu pernah menontonnya, rasa-rasanya kita sepaham bahwa Kafir ini mempunyai kualitas penggarapan yang, errr... buruk. Maka begitu mendengar keberadaan film bertajuk Kafir Bersekutu dengan Setan yang ndilalah dibintangi juga oleh Sudjiwo Tedjo, saya kebingungan. Apakah ini berwujud remake, prekuel, atau sekuel? Usai beberapa materi promo dilepas, hingga akhirnya menyaksikan sendiri film ini di layar lebar, saya bisa menyimpulkan bahwa letak persamaan dari dua film ini hanya sebatas pada judul, rumah produksi, serta peran yang dimainkan oleh Presiden Jancukers. Tidak pernah lebih. Malah, Kafir Bersekutu dengan Setan yang diarahkan oleh Kinoi Azhar Lubis (Jokowi, Surat Cinta Untuk Kartini) ini mencoba bereksperimen dengan menghadirkan pendekatan berbeda dibandingkan film-film horor lokal pada umumnya yang menjunjung tinggi penampakan hantu berlebih dan skoring musik berisik. Sebuah eksperimen yang layak diapresiasi, meski tak sepenuhnya berhasil.
Kafir Bersekutu dengan Setan memulai narasi dengan mempertemukan kita pada sebuah keluarga kecil yang harmonis kala hujan mengguyur disertai petir menggelegar di suatu malam. Keluarga kecil yang terdiri dari Sri (Putri Ayudya), Herman (Teddy Syach), dan Dina (Nadya Arina) ini bersiap untuk santap malam bersama di meja makan seraya menunggu kedatangan si sulung, Andi (Rangga Azof), yang belum kunjung pulang. Ditengah nikmatnya menyantap gulai ayam olahan Sri yang sesekali diwarnai canda tawa, sebuah tragedi menyergap. Herman mendadak batuk-batuk yang mulanya dikira tersedak makanan oleh Sri dan Dina. Tapi saat si bapak memuntahkan darah bercampur beling dari mulutnya lalu tak berselang lama berpulang ke pangkuan Yang Maha Satu, ini jelas bukan tersedak biasa. Ada sesuatu yang lebih buruk sedang terjadi. Pun begitu, tak ada satu anggota pun yang menyadari keanehan ini dan mereka menjalani hidup seperti biasa. Bahkan, Andi semakin sering mengajak kekasihnya, Hanum (Indah Permatasari), untuk bermain ke rumah. Kecurigaan bahwa kematian Herman bukanlah sesuatu yang wajar mulai diendus oleh Dina ketika dia menyadari Sri kerap bertingkah tak sewajarnya selepas kematian Herman, sementara Andi yang menolak memercayai hal-hal berbau mistis menganggap permasalahan ibunya ini tidak lebih dari fase berduka. Perbedaan cara pandang kakak beradik ini pada akhirnya dipaksa untuk bersatu saat Sri mendadak raib entah kemana.
Seperti telah disinggung di paragraf pembuka, Kafir Bersekutu dengan Setan bukanlah horor tipikal yang bergantung pada jump scares dengan penempatan sembrono maupun iringan musik memekakkan telinga untuk menimbulkan rasa ngeri pada diri penonton. Kengerian yang dihembuskannya ke penonton bersumber dari atmosfer yang mengusik kenyamanan, imaji mengerikan, serta narasi yang mengundang rasa ingin tahu. Pendekatan yang berani, kalau saya bilang, mengingat berpotensi mengalienasi penonton setia film horor di tanah air yang gemar dikaget-kageti sekalipun tanpa relevansi yang jelas. Ya, selama durasi mengalun yang mencapai 95 menit, bisa dihitung menggunakan jari tangan ada berapa banyak penampakan yang dihadirkan oleh Kafir Bersekutu dengan Setan. Ketimbang bermain-main dengan formula 'asal penonton kaget', film yang naskahnya ditulis oleh Upi (Belenggu, My Stupid Boss) ini memilih untuk fokus bercerita. Kita diajak mengikuti kisah keluarga Herman yang misterius dengan mengedepankan satu pertanyaan menggugah selera di menit-menit awal, “apa yang sesungguhnya terjadi di sini?.” Selepas kematian Herman yang tidak wajar, ketertarikan untuk mengikuti jalinan pengisahan dari film mencuat dari rentetan kejadian aneh yang dialami oleh Sri seperti munculnya noda hitam di langit-langit kamarnya yang tidak kunjung hilang, benda-benda di rumah yang bergerak sendiri, sampai Andi yang ternyata memiliki 'saudara kembar'.
Selagi dibuat bertanya-tanya mengenai kebenaran dibalik keanehan yang menghinggapi Sri, kita juga diupayakan untuk mengkerut di kursi bioskop oleh si pembuat film dengan nuansa yang serba mengganggu. Pencahayaan yang melulu temaram dan suara sambaran petir adalah modal utama bagi Kinoi Azhar Lubis untuk mempermainkan ekspektasi penonton yang berharap-harap cemas: apakah ada yang bersembunyi dibalik kegelapan? Apakah sesuatu yang buruk akan terjadi? Ditunjang sinematografi ciamik dari Yunus Pasolang yang sanggup menangkap gambar-gambar indah sekaligus menguarkan aura misteri di dalamnya (paling kentara saat film membawa kita mengunjungi areal pekuburan atau hutan) beserta performa bagus jajaran pemainnya, Kafir Bersekutu dengan Setan terbilang handal dalam menciptakan nuansa misterius nan menyeramkan setidaknya hingga babak kedua. Putri Ayudya melebur dengan baik ke sosok Sri yang terlihat memprihatinkan di paruh pembuka, lalu berangsur-angur berubah menyeramkan yang membuat kita enggan untuk dekat-dekat dengannya di paruh berikutnya, sampai mengundang tanya, “mungkinkah dia adalah penyebab semua kekacauan ini?,” ketika misteri mulai tersibak. Performa Sudjiwo Tedjo sebagai dukun setempat turut berkontribusi pada terciptanya kengerian, utamanya setelah 'kantornya' mulai membara yang mempersembahkan imaji sulit dilupakan beserta salah satu adegan paling mengerikan di film selain “Mama haus” dan iblis melafalkan Ayat Kursi.
Teror yang mencuat secara perlahan-lahan – mengikuti tempo penceritaan yang juga pelan – ini sayangnya tak pernah meledak di klimaks seperti diperkirakan. Usai raibnya Sri, Kafir Bersekutu dengan Setan seperti kehilangan arah. Intensitasnya mulai memudar, narasinya pun terasa hambar. Ketertarikan untuk mengetahui akar persoalan tidak lagi setinggi sebelumnya karena proses investigasi yang dijalankan oleh Dina dan Andi hanya bersifat satu arah. Mereka mendapatkan petunjuk, tapi kita tidak tahu apa isi dari petunjuk tersebut. Mereka sibuk menyusun puzzle sendirian, tanpa pernah berniat melibatkan penonton yang kepo. Kita hanya mengikuti, mengikuti, mengikuti, sampai kemudian terseret menuju panggung klimaks yang entah bagaimana bisa ada di sana. Alih-alih mengejutkan, pengungkapan ini justru menggelikan lantaran memiliki nada yang sama sekali bertolak belakang dengan puluhan menit sebelumnya. Terlampau generik sekaligus over-the-top (baca: berlebihan) untuk sebuah film horor yang sudah susah payah mencoba tampil dengan nada non konvensional. Rasa ngeri yang tadinya telah terpupuk seketika bubar jalan terlebih saat salah satu tokoh mengeluarkan jurus maut berupa 'tendangan api' yang mendorong saya untuk secara reflek melontarkan komentar, “apaan sih!.” Alhasil, seluruh modal yang dipunyai Kafir Bersekutu dengan Setan tidak cukup untuk menempatkannya di level yang sama dengan Pengabdi Setan (2017) akibat babak ketiganya yang sembrono ini. Tapi paling tidak, modal ini sudah cukup untuk memosisikannya di level lebih tinggi ketimbang sebagian besar film-film horor tanah air yang memiliki penggarapan asal-asalan.