Biografi Manthous ( Anto Sugiarto ) Maestro campursari dari Gunungkidul

Baca Juga

Biografi Manthous
Biografi Manthous. Bila mendengar nama Anto Sugiarto mungkin telinga kita akan merasa asing, namun apabila mendengar nama Manthous maka tentu kita akan ingat akan seorang penyanyi langgam campursari yang berasal dari Propinsi Yogyakarta yakni dari Kabupaten Gunungkidul. Anto Sugiarto atau kita kenal sebagai Manthous lahir di Gunungkidul 10 April tahun 1950. Nama tersebut merupakan nama pemberian dari orang tuanya yang bernama Suyadi Wiryo Atmojo. Biasanya untuk menyebut panggilan seseorang, maka orang tersebut tidak akan dipanggil nama lengkapnya melainkan nama awalan tengah atau akhiran saja. Begitu juga Anto Sugiarto, nama panggilannya berasal dari nama depan Anto, namun karena beliau pada akhirnya terkenal sebagai penyanyi langgam campursasi, maka nama panggilannya berubah karena mendapat kata awalan, sisipan dan akhiran sehingga berubah menjadi Manthous.



Kehidupan Pribadi Manthous

Manthous menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Beliau bermukim di Kecamatan Playen Gunungkidul lebih tepatnya di CSGK studio 21 Playen Gunungkidul, Yogyakarta. Sampai akhir hayatnya Manthous berkiprah dalam dunia musik pada umumnya, dan musik campurasi pada khususnya. Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan seni musik, namun berkat bakat yang dimilikinya serta kerja keras yang telah dia lalui, Manthous berhasil menjadi terkenal dan menghasilkan puluhan bahkan ratusan tembang campursasi yang sampai sekarang masih bisa kita nikmati. 

Pada tahun 1968, Manthous sempat hijrah ke Jakarta dan mengadu nasib sebagai pemain orkes keroncong. Dalam permainan musiknya beliau banyak mengandalkan instrument celo. Pada waktu itu, beliau minta untuk pindah ke SMA di Jakarta, namun di Jakarta beliau tidak menuntaskan pendidikannya dan hanya sampai di kelas II saja. Di Jakarta Manthous lebih mengunggulkan jiwa seninya dengan bekal bakatnya sebagai pemain orkes keroncong. Pada tahun 1970, Manthous bergabung dengan Orkes Keroncong Bintang Jakarta yang pada waktu itu dipimpin oleh Budiman. Bintang Jakarta membuat jenis musik yang memadukan antara intrument tradisional dan modern atau lebih kita kenal sebagai campurasi, namun pada waktu itu sifatnya masih eksperimen dan belumlah berhasil.



Kegagalan demi kegagalan tidak lantas menyurutkan niat untuk kembali melakukan eksperimen memperbaiki kekurangan yang ada hingga dapat membuat jenis musik yang enak didengar serta dapat diterima banyak orang. Pada tahun 1971 bersama dengan Budiman, Manthous berhasil membuat music Gambang Kroncong modern serta dinyanyikan duet bersama Ida Royani dan Inneke Kusumawati. Ternyata, jauh dari perkiraan, musik jenis ini meledak di pasaran dan dapat diterima oleh banyak orang. Karena dirasa musik gambang kroncong modern ini dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat, maka Manthous memiliki inisiatif untuk melakukan rekaman guna memasarkan hasil karyanya tersebut. Pada tahun 1971, Manthous berhasil melakukan proses recording bersama dengan A. Riyantio di Musica Studio. Dengan berbagai rekaman audio ( cassette) maka dia berhasil merekam serta memasarkan banyak lagu, khususnya untuk di wilayah Jawa.    


Mengerjakan musik untuk ilustrasi Film 

Kesuksesan dunia rekaman tidak membuat Manthous berhenti berkarya. Pada tahun 1976, Manthous mulai menggarap musik untuk ilustrasi film. Proses pertama yang dilalui oleh Manthous yakni membantu Idris Sardi serta Budiman. Dari sini Manthous mendapat pengalaman dan pembelajaran mengenai pembuatan musik terutama musik dalam berbagai jenis genre film. Dengan pengalaman tersebut, Manthous dipercaya oleh beberapa sutradara untuk membuat musik ilustrasi beberapa film, diantaranya adalah : film Priyangan, film Chip, serta film Selangit Mesra.

Pada tahun 1986 bersama Charles Hutagulung, Manthous membuat sebuah Home Band yang bernama Flouwers Sound Recording. Dengan beberapa pengalaman yang dia miliki, dia menciptakan beberapa musik berupa lagu-lagu humor seperti lagu Surga dan Neraka yang dinyanyikan Hetty Koes Endang. Lagu ini bahkan mendapatkan Golden Record sebagi lagu dengan penjualan tertinggi. Setelah berhasil membuat lagu bernuansa humor, pada tahun 1987 bersama Hetty Koes Endang mulai mengaransemen lagu pop bernuansa keroncong. Musik pop keroncong ini mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat serta tidak megalami kesulitan dalam melebarkan sayap, serta memasarkannya dalam pasaran dunia pop keroncong.


Bereksperimen dengan memadukan musik tradisional dan modern 

Pada tahun 1990, Manthous bersama dengan Rinto Harahap membawa musik keroncong ke Tokyo Music Festival selama sepuluh hari lamanya. Pada tahun 1991 musik pop keroncong pimpinan Manthous Pan Pacifik Music Festival bersama dengan penyanyi Hetty Koes Endang dan juga dari artis-artis yang berasal dari Amerika, Jepang serta Australia. Festival ini diselenggarakan sampai dengan 45 hari lamanya. Pada tahun 1993 Manthous pergi ke Amerika bersama dengan Tim Pesona yang diokordinatori oleh Ny Isti dari Sofia, menghibur masyarakat Indonesia di Los Angeles dan Las Vegas selama hampir 15 hari lamanya. Pada tahun yang sama, bersama dengan adik-adiknya, Manthous membuat musik campurasi dengan format yang baru yakni dengan mengganti alat musik celo dengan instrument kendang. Untuk bisa mengisi suara gamelan pada rekaman maka Manthous mulai mengelektronikkan alat musik keroncong seperti biola, siter serta gong. Group musik campursari pada waktu itu dibuat dan diberi nama CSGK ( Campursari Gunungkidul ). Ternyata musik campurasri hasil karya Manthous berhasil diterima di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran musik campursari ini diikuti dengan lahirnya banyak group campursari di berbagai daerah. 

Lagu-lagu ciptaan dari Manthous banyak menembus pasaran musik Indonesia dan menjadikannya terkenal. Beberapa diantaranya bahkan mendapatkan penghargaan. Pada tahun 1993, Manthous kembali meneruskan lagunya yang belum dia selesaikan pada tahun 1991 yakni lagu yang berjudul Gethuk serta Kangen. Pada tahun 1991 lagu tersebut belum digarap secara serius, barulah pada tahun 1993 lagu tersebut digarap dengan format baru dengan diiringi musik campursari. Dengan kedua lagu ini ternyata dapat mengangkat nama Manthous di blantika musik Indonesia. Lagu gethuk dinyanyikan oleh Nur Afni Octavia serta lagu kangen dinyanyikan oleh Evi Tamala. Pada tahun 1994 Manthous mulai membuat lagu yang mengangkat nama-nama suatu daerah diantaranya adalah : Gunungkidul Handayani, Geblek Kulonprogo. Perubahan besar dalam bermusik terjadi pada tahun 1996, dimana pada waktu itu Manthous mulai tertarik dengan suara-suara sinden. Pada waktu itu pula Manthous mengangkat sinden berbakat dari Kabupaten Sragen yakni Anik Sunyahni. Dengan membawakan lagu yang berasal dari Manthous yakni Aja Sembrana berhasil mengantarkan Anik Sunyahni menjadi terkenal di panggung hiburan.

Penghargaan demi penghargaan

Dalam perjalanannya bermusik, Manthous beberapa kali mendapat penghargaan baik itu penghargaan lokal maupun nasional. Pada tahun 1996, Manthous terpilih sebagai seniman paling inovatif yang diselenggarakan oleh seksi Budaya dan Film PWI cabang Yogyakarta. Pada tahun yang sama Manthous mendapat penghargaan dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke X dalam acara gelar budaya rakyat Yogyakarta. Pada tahun 1999 setelah kembalinya Manthous ke daerah asalnya yakni Wonosari Gunungkidul, Manthous ikut berperan serta memajukan daerah tempat tingalnya melalui kesenian terutama campursari. Meskipun pada tahun-tahun tersebut merupakan tahun yang sulit akibat krisis moneter, namun beliau berhasil membuat sebuah studio rekaman sendiri. Studio tersebut bernama studio 21 CSGK yang bertempat di Playen, Kabupaten Gunungkidul.


Akhir hayat Manthous

Manthous meninggal dunia dalam usia 60 tahun setelah menjalani perawatan medis di salah satu rumah sakit di Jakarta akibat serangan penyakit stroke yang telah dideritanya sepuluh tahun terakhir. Selama karier bermusiknya, kata Yunianto, Manthous mulai berkibar pada 1995 dengan tak kurang 300 lagu yang diciptakan dan delapan album yang dikeluarkan. Berkat Manthous, campur sari tak hanya terkenal di Gunung Kidul atau Yogyakarta, tapi juga nasional, bahkan mendunia. 


Itulah Biografi singkat mengenai Anto Sugiarto atau kita mengenalnya sebagai Manthous, seorang maestro campursari dari Kabupaten Gunungkidul Propinsi Yogyakarta. Meskipun saat ini beliau sudah tiada, namun karya-karyanya masih bisa kita nikmati sampai dengan saat ini. Beliau mengajarkan kepada kita, bahwa manusia hidup di dunia memiliki menempati sebuah peran. Dalam hal ini Manthous mengambil peran sebagai seorang seniman, dengan berkarya dan mencipta.
close

UNTUK SAAT INI, ARTIKEL BLOG AKAN DITUTUPI. SEGERA KELUAR/CLOSE TAB INI ATAU TEKAN DISINI. JIKA ANDA TETAP INGIN MEMBUKA ARTIKEL INI, SILAHKAN TEKAN TOMBOL CLOSE. DENGAN ANDA MEMBUKA ARTIKEL KEMBALI, TANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA MILIK ANDA, SAYA SUDAH PERINGATI UNTUK MENUTUP TAB INI. TERIMA KASIH. - ADMIN