Baca Juga
“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.”
Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder?
Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.
Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila:
1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi.
Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila:
1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter.
Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.
Poor (2/5)