Pemicu Semangat (by: Alvi Fadhollah)

Baca Juga

Bukan bermaksud untuk memberikan contoh bagaimana cerpen yang baik dan benar sih, tetapi sebagai permulaan, saya akan memposting cerpen saya disini. Yah, anggaplah sebagai gerakan pertama dalam usaha saya untuk sekedar membantu sedikit dalam mempublikasikan karya tulisan disini. Baiklah, selamat membaca!!

PEMICU SEMANGAT


Pukul 5 pagi, Abdi telah terjaga dari tidurnya. Segera saja, Abdi kembali membuka alamat e-mail nya dengan harapan ia mendapatkan kabar dari perusahaan yang 2 minggu lalu memanggil Abdi untuk tes wawancara. Selama 2 minggu itu pula, Abdi tidak henti-hentinya memeriksa smartphone-nya, hanya untuk sekedar memeriksa e-mail serta kotak masuk smartphone. Tetapi, tetap saja sama sekali tidak ada kabar dari perusahaan tersebut. Pada saat di akhir tes wawancara, pihak yang melakukan interview memang telah memberitahukan kepada Abdi bila ia akan diberikan kabar dalam kurun waktu 1 minggu apabila Abdi berhasil lulus dari tes interview tersebut. 1 minggu pun telah lewat, namun Abdi masih berpikiran positf dan tetap menjaga asa untuk bisa bergabung dengan perusahaan tersebut. “Mungkin aja mereka telat ngasih tau nya”, “Bisa aja kandidat-kandidat lain yang masih diproses”, segala kemungkinan hadir dalam pikiran Abdi untuk sekedar menghibur dirinya. Tetapi selama 2 minggu, selama itu pula harapan yang awalnya membumbung tinggi lama-kelamaan tergerus dan semakin lama semakin kecil. Saat memeriksa e-mail dan tetap tidak ada kabar dari pihak perusahaan itu, Abdi menghela nafas panjang. Dirinya tampak telah siap menerima keadaan terburuk jika ia memang tidak lulus interview.
“Nambah lagi periode nganggur gw”
Abdi meletakkan smartphone nya dan mulai beranjak dari kasur tidurnya. Ia membasuh muka untuk sekedar menyegarkan muka serta pikirannya. Ia berharap kekecewaan yang sedang ia rasakan sedikit menghilang seiring dengan basuhan demi basuhan ke permukaan mukanya. Lantunan-lantunan puji syukur segera ia ucapkan, sekedar untuk menghibur dirinya yang tengah dilanda kekecawaan. Dirinya tidak ingin, segala himpitan-himpitan kegagalan yang ia alami membuatnya menyalahkan Sang Pemilik Takdir. Ia ingin tetap mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, saat adzan berkumandang, dirinya langsung melangkahkan kakinya untuk mendatangi masjid yang berada tidak jauh dari kosannya sekarang. Tidak lupa, ia membawa smarphone nya juga, sekedar berjaga-jaga mungkin saja akan ada pihak perusahaan yang meneleponnya.
Abdi berumur 24 tahun, dan ia memang baru saja lulus dari masa pendidikannya di salah satu Perguruan Tinggi di kotanya. Memiliki IPK di atas 3, dirinya cukup percaya diri bila dirinya tidak akan lama menganggur, apalagi perguruan tinggi tempat ia menempa ilmu merupakan salah satu Perguruan Tinggi terbaik di kotanya. Namun kenyataannya, telah 8 bulan lebih, Abdi belum juga mendapatkan keberuntungan dalam mencari pekerjaan. Bukan tanpa alasan dirinya ingin segera cepat mendapatkan penghasilan. Abdi tidak ingin terus menerus merepotkan kedua orang tuanya yang telah mengeluarkan banyak biaya demi dirinya bisa melanjutkan perkuliahan serta biaya kehidupan sehari-sehari Abdi, yang merupakan anak perantauan. Abdi, yang awalnya ingin merantau supaya mampu meringankan beban orang tuanya, malah berakhir sebaliknya. Biaya yang dikeluarkan oleh orang tua nya bisa dibilang dua kali lipat dibandingkan apabila dirinya tidak memutuskan merantau. Keputusan yang sempat ia sesali, namun orang tua Abdi, terutama sang ibu, terus menyemangati Abdi dan mengingatkan supaya untuk tidak terlalu tenggelam dengan rasa bersalah.
“Bapak ibu bangga kok sama kamu, nak. Diantara 3 anak laki-laki ibu, Cuma kamu yang punya kesempatan untuk merantau.”
Sering sekali ibu Abdi mengeluarkan kalimat yang serupa, dan setiap mendengar itu pula, Abdi tidak bisa membendung air mata nya. Ia harus semangat, tidak boleh kalah dengan keadaan, demi bisa membahagiakan kedua orang tuanya dan mampu mewujudkan keinginan terbesarnya, yaitu memberangkatkan haji kedua orang tuanya. Keinginan itulah yang selalu menggerakkan Abdi untuk terus melangkah dan terus menerus memasukkan lamaran pekerjaan. Tetapi, sekali lagi, keberuntungan memang belum berpihak kepada Abdi sehingga kini ia masih berstatus fresh graduate yang menganggur.
Tidak mudah untuk Abdi bisa terus bersabar, terlebih lagi teman-teman satu angkatannya telah banyak yang mendapatkan pekerjaan, bahkan di antara mereka ada yang berhasil bergabung perusahaan BUMN ataupun PNS, dimana Abdi mengalami kegagalan untuk bisa masuk perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini yang terkadang membuat Abdi merasakan iri sedalam-dalamnya, apalagi salah satu temannya tersebut pada masa perkuliahan, tidak memiliki nilai IPK sebesar Abdi. Pada masa perkuliahan pun, Abdi juga sering membantunya dalam mengatasi masalah mata kuliah yang ada. Saat ia mengetahui bila temannya tersebut telah bekerja di perusahaan BUMN, Abdi tidak hanya merasa senang, namun juga dilanda akan rasa iri nan cemburu.
“Kok dia beruntung banget ya? Kenapa bukan gw? Padahal, gw butuh banget pekerjaan.”
Kegagalan merupakan proses dari keberhasilan. Awalnya Abdi meyakini kalimat itu, namun lama kelamaan, seiring dengan kegagalan yang terus menerus ia alami, ia mulai menyangsikan kalimat indah itu. Tidak berhenti disitu saja, ia juga mulai muak dengan kalimat-kalimat positif yang berserakan di salah satu web pencarian paling popular di internet. Setiap penyakit hati nya mulai menguasai sanubari Abdi, disaat itu pula ia langsung mengambil wudhu dan segera melakukan kontak batin terhadap Yang Maha Kuasa. Ia tidak ingin bersu’udzon dengan Allah. Ia ingin terus berpikiran positif terhadap Allah. Satu yang ia yakini, bila Allah tidak akan menguji hamba-Nya melewati batas kemampuan hamba-Nya. Abdi meyakini itu, biarpun ia kini sama sekali tidak percaya dengan kalimat-kalimat motivasi lainnya.
Setelah shalat Shubuh, Abdi kembali melakukan kontak batin dengan Allah. Ia tidak berdoa, hanya sekedar melakukan pembicaraan melalui hati nya. Pada saat itu pula, air mata nya mulai mengalir. Untung saja, saat itu kondisi masjid tidak lagi terlalu ramai sehingga tidak ada satupun orang yang menyadari bila Abdi tengah menangis.
“Ya Allah, apapun yang terjadi terhadap hamba, apapun kesulitan yang lagi hamba rasakan sekarang, hamba hanya meminta satu, jangan jauhkan hati ini dalam pelukan-Mu. Jangan jauhkan hidayah-Mu dari hamba. Hanya itu, hanya itu Ya Allah.”
Komunikasi Abdi yang ia jalin dengan Allah itu, ditutup nya dengan bacaan doa untuk orang tua, sebelum ia mulai beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan masjid dan kembali ke kosannya. Sesaat melangkah keluar dari lingkungan masjid, smartphone milik Abdi bordering. Ternyata sang ibu yang menelepon.
“Assalamu’alaikum, bu”, ucap Abdi saat mengangkat telepon tersebut.
“Wa’alaikum salam, nak. Sehat kan?
“Iya, bu. Kondisi rumah gimana? Bapak ibu sehat juga kan?”
“Alhamdulillah. Gimana? Ada kemajuan soal kerjaan?”
Pertanyaan yang telah diduga oleh Abdi. Dan Abdi senantiasa berat untuk menjawab nya. Namun, bagaimana lagi, masa ia harus berbohong terhadap ibu nya sendiri?
“Belum ada, bu. Doain aja”, jawab Abdi
“Tetap usaha ya, nak. Terus dicoba. Gak ada ruginya juga. Bapak ibu terus doain kamu kok disini”
Air mata Abdi kembali mengalir. Dengan segala usaha, ia tahan untuk tidak diketahui oleh sang ibu bila ia tengah menangis.
“Nak, bapak mau ngomong nih,” ucap ibunya dan segera menyerahkan handphone kepada bapak Abdi.
“Di, udah shalat shubuh?” segera Tanya dari sang ayah.
“Ini juga baru kelar, pak.”
“Saran bapak cuma satu, nak. Jangan pernah ninggalin shalat ya, nak. Bapak tau, kamu mungkin lagi ngerasain kecewa sekarang. Tapi, tetap percaya sama pertolongan Allah. Cuma Allah yang bisa bantu kamu, ibu bapak Cuma bisa berdoa aja.”
Abdi tidak mampu menanggapi karena kini usahanya tengah ia pusatkan untuk bisa menahan tangisnya supaya tidak sesenggukan. Untung saja posisi Abdi saat ini telah berada di dalam kosannya.
“Pak, sama ibu juga, sehat terus ya. Supaya Abdi bisa ngirimin gaji pertama Abdi nanti”
“Iya, di, doain aja. Ada salam juga dari kakak-kakakmu disini. Mereka ngirimin uang untuk kamu.”
“Iya pak, omongin makasih dan salam untuk kak Doni dan kak Alvian.”
“Yaudah, itu aja ya nak. Semangat terus. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”.
Saat telepon terputus, Abdi segera melonggarkan pertahanannya dan menangis sesunggukan. Mukanya kini telah dipenuhi oleh linangan air mata, serta air bening mengalir dari hidungnya. Memang ini yang tengah ia butuhkan, sebuah suara dari orang tua dan dukungan dari saudara-saudaranya. Sebuah obrolan yang singkat, namun sangat bermakna bagi Abdi. Sebuah momen yang meningatkan Abdi untuk terus melangkah maju, tidak perduli dengan rasa kekecewaan dan juga kesedihan yang tengah ia rasakan, tidak ada pilihan untuk Abdi selain terus melangkah.

THE END
close

UNTUK SAAT INI, ARTIKEL BLOG AKAN DITUTUPI. SEGERA KELUAR/CLOSE TAB INI ATAU TEKAN DISINI. JIKA ANDA TETAP INGIN MEMBUKA ARTIKEL INI, SILAHKAN TEKAN TOMBOL CLOSE. DENGAN ANDA MEMBUKA ARTIKEL KEMBALI, TANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA MILIK ANDA, SAYA SUDAH PERINGATI UNTUK MENUTUP TAB INI. TERIMA KASIH. - ADMIN