Baca Juga
Situs yang menyediakan cerita dewasa dan foto hot secara gratis dan selalu update : Cerita Sex | Cerita Dewasa Terbaru | Cerita Ngentot | Cerita Mesum | Cerita ABG | Cerita Porn | Cerita Seks Dewasa Goyangan Tante Bikin Tegang. Cerita kali ini merupakan pangalaman lika liku jalan hidupku saat itu gue masih duduk di kelas SMP gue berkeinginan untuk melanjutkan study di Jakarta, gue mendapat ijin untuk kesana dan tinggal di Tanteku yang tinggal di Jakarta, saat di desa gue belum paham akan seks dan ngentot tapi seiring berjalannya waktu sudah dewasa gue tahu tentang seks di rumah tante.
Mulai dari majalah porno, video bokep sampai dengan foto-foto cewek bugil semua gue tahu. Memang saat dijakarta menjadi sebuah kenangan manis sekaligus kenakalan masa remajgue. mulai tahu ngentot dan belajar ngentot sama perawan maupun ngentot sama tante girang.
Sudah berpuluh-puluh kali aq ngentot sama tante girang dan semua berakhir dengan kontolku yang lemas gemulai. Tapi gapapa deh yang penting gue puas. Eh kok ngalor ngidul ga jelas.
menyimak pembaca yang budiman. . Gue ke Jakarta atas seizin orang tugue, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya gue sebenarnya enggan meninggalkan keluarggue, tapi ayahku menginginkan gue untuk melanjutkan sekolah ke STM.
Gue lebih suka kerja saja di Purwokerto. Gue menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta.
Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desgue. Kabar terakhir yang gue dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan.
Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, gue berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang gue punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai.
Tebet tak jauh dari stasiun ini. Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang gue dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desgue yang sepi dan hening.
Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah gue pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar gue masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desgue tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga.
Setelah gue jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup gue menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak.
Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ram
ah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian.
Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, gue kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh gue tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang gue dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi.
Tentu karena gue sudah dikenalkannya oleh Oom Ton. Gue diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya gue tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin gue cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut.
Rumah di desa gue cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, gue tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar.
Gue diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Gue masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu gue tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, gue hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku.
Gue ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi gue makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?
Selamat malam, Oom,? Sapa gue.
?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.?
?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?
Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Gue akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Gue juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?
Iya, saya kadang-kadang tguet juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?
Berapa umurmu sekarang, To ?? ?
Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?
Badanmu engga sesuai umurmu.?
Hari-hari baruku dimulai. Gue diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki.
Gue memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik.
Cantik ? Ya, sejak gue di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan.
Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicargue yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya gue.
Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang gue di kelas menjadi cepat populer, bukan karena gue pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, gue juga termasuk murid yang pintar.
Gue memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku. Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton.
Nah, di antara tumpukan buku, gue menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular. Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita.
Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari gue baru tahu tentang ?guru? itu. Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya.
Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus.
Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi.
Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya gue sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang gue lihat hanya bagian wajah.
Bagaimana gue tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada. Sejak ketemu majalah Popular itu gue jadi lain jika memandang wanita teman kelasku.
Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini gue nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu.
Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku.
Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Gue sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang.
Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Gue lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi gue senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya.
Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, gue sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini gue belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang gue hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani gue ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang.
Sampai detik ini gue melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, gue jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku.
Jangan ah, gue menghormati Tanteku. Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang gue masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah.
Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam.
Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, gue menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono.
Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas.
Tanpa sengaja pula gue jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak gue terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung gue cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya.
Ah, kacau. Sebenarnya tidak sekali ini gue melihat Tante memakai kimono. Kenapa gue tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan gue ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi.
Gue ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin gue mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?
Biasa-biasa saja Tante.? ?
Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ??
?Engga Tante.? ?
Udah banyak dapat kawan ?? ?
Banyak, kawan sekelas.? ?
Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?
Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?
Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?
Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?
Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.?
Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti?
kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?
Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?
Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Gue berusaha keras menenangkan diri. ?
Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Guepun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celangue. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini gue bukannya nonton TV.
Mata gue lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya! Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari.
Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya gue punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster.
Tapi mana berani gue menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu.
Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres ditangan pembantu.
Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari. Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan.
Pagi-pagi ketika gue sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku.
Gue belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat tguet telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. I
nilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To! Pulang sekolah tidak seperti biasa gue tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu.
Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Gue belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran gue dibuatnya.
Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa gue jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang.
Kenapa gue sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah gue tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya.
Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika gue ?praktek?.
Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini gue tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha.
Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang matgue tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, gue rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu gue mencoba memperkirakan.
Begitu banyak gue berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan.
Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah.
Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat.
Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun gue melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar gue bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya.
Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya gue tak tahu. Bawahnya! Ya, gue melupakan pahanya. Segera saja matgue turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi.
Ah gue sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya.
Tapi gue tak bisa berlama-lama begini, disamping tguet ketahuan, lagipula gue ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa.
Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.?
Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Gue mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Gue duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur.
Gue bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas.
Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau gue menggeser kepalgue agak ke kiri, mungkin gue bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya gue siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah gue Kau beri siksa yang begini. Gue khawatir tak sanggup menahan diri.
Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa gue dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., gue menemukan sesuatu lagi. Gue mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali.
Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang. Malamnya gue disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana gue menikmati pemandangan dada Tante yang membuat gue tak begitu selera makan.
Tiba-tiba gue dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya gue.
Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Gue tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut. Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, gue jadi merasa geli di ujung penisku.
Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, gue merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? gue terbangun.
Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, gue jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celangue basah. Mana mungkin gue ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat gue periksa.
Memang gue ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula gue ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba gue tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok gue tanyakan.
Cerita Sex Goyangan Tante Bikin Tegang
Cerita Sex Goyangan Tante Bikin Tegang |
Sudah berpuluh-puluh kali aq ngentot sama tante girang dan semua berakhir dengan kontolku yang lemas gemulai. Tapi gapapa deh yang penting gue puas. Eh kok ngalor ngidul ga jelas.
menyimak pembaca yang budiman. . Gue ke Jakarta atas seizin orang tugue, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya gue sebenarnya enggan meninggalkan keluarggue, tapi ayahku menginginkan gue untuk melanjutkan sekolah ke STM.
Gue lebih suka kerja saja di Purwokerto. Gue menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta.
Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desgue. Kabar terakhir yang gue dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan.
Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, gue berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang gue punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai.
Tebet tak jauh dari stasiun ini. Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang gue dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desgue yang sepi dan hening.
Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah gue pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar gue masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desgue tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga.
Setelah gue jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup gue menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak.
Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ram
ah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian.
Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, gue kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh gue tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang gue dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi.
Tentu karena gue sudah dikenalkannya oleh Oom Ton. Gue diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya gue tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin gue cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut.
Rumah di desa gue cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, gue tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar.
Gue diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Gue masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu gue tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, gue hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku.
Gue ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi gue makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?
Selamat malam, Oom,? Sapa gue.
?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.?
?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?
Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Gue akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Gue juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?
Iya, saya kadang-kadang tguet juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?
Berapa umurmu sekarang, To ?? ?
Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?
Badanmu engga sesuai umurmu.?
Hari-hari baruku dimulai. Gue diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki.
Gue memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik.
Cantik ? Ya, sejak gue di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan.
Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicargue yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya gue.
Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang gue di kelas menjadi cepat populer, bukan karena gue pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, gue juga termasuk murid yang pintar.
Gue memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku. Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton.
Nah, di antara tumpukan buku, gue menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular. Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita.
Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari gue baru tahu tentang ?guru? itu. Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya.
Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus.
Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi.
Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya gue sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang gue lihat hanya bagian wajah.
Bagaimana gue tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada. Sejak ketemu majalah Popular itu gue jadi lain jika memandang wanita teman kelasku.
Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini gue nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu.
Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku.
Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Gue sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang.
Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Gue lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi gue senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya.
Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, gue sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini gue belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang gue hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani gue ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang.
Sampai detik ini gue melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, gue jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku.
Jangan ah, gue menghormati Tanteku. Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang gue masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah.
Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam.
Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, gue menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono.
Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas.
Tanpa sengaja pula gue jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak gue terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung gue cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya.
Ah, kacau. Sebenarnya tidak sekali ini gue melihat Tante memakai kimono. Kenapa gue tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan gue ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi.
Gue ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin gue mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?
Biasa-biasa saja Tante.? ?
Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ??
?Engga Tante.? ?
Udah banyak dapat kawan ?? ?
Banyak, kawan sekelas.? ?
Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?
Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?
Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?
Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?
Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.?
Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti?
kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?
Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?
Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Gue berusaha keras menenangkan diri. ?
Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Guepun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celangue. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini gue bukannya nonton TV.
Mata gue lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya! Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari.
Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya gue punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster.
Tapi mana berani gue menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu.
Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres ditangan pembantu.
Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari. Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan.
Pagi-pagi ketika gue sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku.
Gue belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat tguet telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. I
nilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To! Pulang sekolah tidak seperti biasa gue tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu.
Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Gue belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran gue dibuatnya.
Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa gue jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang.
Kenapa gue sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah gue tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya.
Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika gue ?praktek?.
Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini gue tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha.
Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang matgue tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, gue rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu gue mencoba memperkirakan.
Begitu banyak gue berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan.
Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah.
Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat.
Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun gue melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar gue bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya.
Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya gue tak tahu. Bawahnya! Ya, gue melupakan pahanya. Segera saja matgue turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi.
Ah gue sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya.
Tapi gue tak bisa berlama-lama begini, disamping tguet ketahuan, lagipula gue ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa.
Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.?
Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Gue mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Gue duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur.
Gue bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas.
Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau gue menggeser kepalgue agak ke kiri, mungkin gue bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya gue siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah gue Kau beri siksa yang begini. Gue khawatir tak sanggup menahan diri.
Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa gue dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., gue menemukan sesuatu lagi. Gue mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali.
Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang. Malamnya gue disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana gue menikmati pemandangan dada Tante yang membuat gue tak begitu selera makan.
Tiba-tiba gue dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya gue.
Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Gue tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut. Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, gue jadi merasa geli di ujung penisku.
Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, gue merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? gue terbangun.
Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, gue jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celangue basah. Mana mungkin gue ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat gue periksa.
Memang gue ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula gue ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba gue tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok gue tanyakan.