Kemarin siang sewaktu menonton TV ada sebuah stasiun yang menayangkan kasus predator anak. Diberitakan berbagai macam kasus yang melibatkan anak sebagai korban sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016 ini. Sebenarnya aneka kasus pelecehan seksual anak bukanlah berita baru tapi Saya tidak menyangka jika kasusnya bisa semasif itu. Bahkan yang cukup mengagetkan beberapa hari lalu seorang selebritis SJ tersangkut kasus pencabulan padahal setahu saya lewat TV orang ini terkesan sangat agamis. Saya yakin sebenarnya sebelum kasus-kasus semacam itu marak sudah terjadi banyak kasus pelecehan seksual anak tetapi tidak pernah atau belum terungkap. Sudah saatnya ada darurat negara terhadap pelecehen seksual anak-anak.
Sebagai orang tua yang juga memiliki anak yang masih kecil tentu saja saya lumayan ngeri melihat kejadian-kejadian semacam itu terjadi di negara kita ini. Kalau dilihat kasus itu bisa menimpa siapa saja dengan aneka latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan. Bahkan di negara maju sekelas Amerika pun meski hukumannya tidak ringan kasus seperti itu masih sering terjadi. Saya merasa pemahaman sebagian besar masyarakat kita terhadap perilaku pelaku pelecehan s*ksual anak masih sangat kurang. Dari berbagai sumber di internet di internet (terutama situs luar negeri) saya mendapatkan sejumlah informasi. Membahas predator anak selalu berkaitan dengan p*dofilia maka pertama kita perlu perjelas pemahaman mengenai definisi p*dofilia. P*dofilia adalah orang yang memiliki orientasi s*ksual kepada anak <= 12 tahun sementara h*befilia adalah orang yang memiliki orientasi seksual 13-17 tahun. Ada juga p*dohebefilia yaitu orang dengan orientasi seksual gabungan keduanya. Ada 2 kategori pelaku p*dofilia yaitu pasif dan aktif. P*dofilia pasif adalah orang-orang yang sebenarnya mereka menginginkan memiliki hubungan seksual dengan anak-anak tetapi mereka tahu resiko yang akan dihadapi seperti hukuman yang berat, norma agama, dan dampak negatif merusak serta menyakiti anak-anak sehingga mereka tidak ingin ambil resiko. Bagi mereka kenikmatan yang akan didapatkan tidak sebanding dengan resikonya. Terhadap kelompok ini kita bisa menganggap mereka “aman”. Yang ke-2 adalah p*dofilia aktif yaitu mereka yang secara aktif mencari relasi seksual dengan anak-anak. Kalau kelompok ini kita sudah sering melihatnya di TV atau berita-berita di internet. Meski demikian mereka cenderung menghindari kekerasan. Prinsipnya kalau si anak tidak mau melakukan suatu aktivitas seksual maka mereka tidak akan memaksa meski mereka tetap manipulatif. Mereka melakukan aktivitas seksual sejauh si anak menginginkannya. Yang ke-3 adalah child mollester alias pemerkosa anak. Kelompok ini tidak ada bedanya dengan pemerkosa orang dewasa. Mereka bisa jadi p*dofilia tapi bisa juga bukan. Yang membedakan mereka dengan p*dofilia adalah kalau mereka bisa melakukan kekerasan seksual terhadap anak mereka juga senang melakukannya terhadap orang dewasa sementara kalau p*dofilia biasanya tidak terlalu berminat melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa. Child mollester cenderung menggunakan kekerasan sebagai alat utama kepada obyeknya. Pelaku meski didominasi laki-laki tetapi juga kadang dilakukan oleh perempuan sementara korban tidak melulu anak-anak perempuan tetapi juga anak-anak laki-laki.
Baca Juga
Apa sebenarnya penyebab seseorang menjadi p*dofilia:
1. Genetik. Ada bagian dari otak manusia dimana bagian ini korslet yang menyebabkan kelakuan menyimpang.
2. P*rn*grafi anak. Ini juga bisa membuat seseorang lama kelamaan berubah orientasi s*ksualnya.
3. Dorongan s*ksual yang tak tersalurkan misal karena belum menikah, ditinggal lama oleh istri bekerja di luar negeri, dll. Anak-anak merupakan individu yang mudah dimanipulasi jadi wajar jika anak sangat mudah menjadi korban.
Penanganan terhadap p*dofilia
Di Amerika ada semacam bantuan konseling yang disediakan jika seseorang merasa dirinya ada tanda-tanda atau gejala telah menjadi p*dofilia. Saya pikir itu sangat bagus sebagai upaya langkah preventif. Sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga bantuan seperti ini dan yang terpenting kerahasiaan pasien dijamin sepenuhnya sehingga orang tidak malu jika terpaksa harus berkonsultasi atau mendapatkan terapi. Di Indonesia seharusnya sudah ada lembaga bantuan konseling seperti ini tanpa perlu menunggu korban berjatuhan lebih banyak. Sementara untuk pelaku yang sudah melakukan perbuatan melanggar hukum saya pikir selain memperberat hukuman untuk menimbulkan efek jera juga kastrasi kimia juga bisa jadi solusi. Akan tetapi kastrasi kimia ini pun harus dipertimbangkan dengan masak-masak karena bagaimana pun bisa menimbulkan efek negatif bagi tubuh pelaku.
Siapa para pelaku pelecehan seksual anak?
Jarang sekali pelaku pelecehan anak adalah orang asing yang tidak mereka kenal. Jadi sudah saatnya para orang tua mewaspadai pergaulan anak-anak mereka. Jangan pernah berpikiran para pelaku adalah orang-orang yang galak, berpenampilan lusuh,dll. Malah bisa jadi mereka orang-orang yang berpenampilan ramah, supel, necis, dan sudah pasti dengan mudah bisa bergaul dekat dengan anak-anak.
Dari survey sebagian besar pelaku pelecehan adalah orang-orang terdekat anak. Bisa jadi mereka masih ada hubungan kerabat, saudara, tetangga, teman, dll. Saya punya tetangga perempuan yang sebut aja bu G yang beberapa waktu bercerita sambil berbisik-bisik kepada saya. Dia punya kerabat lelaki namanya pak K. Mereka tinggal tidak berjauhan dan cukup akrab. Bu G ini memiliki anak perempuan bernama T yang usianya waktu itu masih sekitar 15-an. Karena akrab maka sudah biasa pak K ini bertandang ke rumah bu G meskipun bu G tidak ada di rumah (yang ada hanya anak-anaknya). Rupanya suatu hari rumah sepi yang ada hanya si T dan kemudian datanglah pak K. Si T sama sekali tidak curiga dengan kedatangan pak K karena pak K sudah biasa keluar masuk rumah bu G. Entah setan apa kemudian pak K ini lalu meremas-remas p*y*d*r* si T sampai si T menangis. Sewaktu bu G pulang kerja, si T bercerita tapi bu G tidak mau melaporkan masalah ini ke polisi (mungkin karena malu atau takut). Setahu saya pak K ini memang memiliki pekerjaan sambilan memberi les kepada anak-anak tiap sore gratis. Saya tidak tahu pasti apakah usaha lesnya ini sebenarnya hanya sebagai kedok untuk mencari korban.
Bahkan yang cukup mengerikan banyak pula para pelakunya yang berprofesi sebagai guru dan ulama. Dulu sekali ada seorang ustad di desa tersandung kasus pencabulan santrinya dan terpaksa mendekam di penjara. Anehnya ketika pak ustadz ini pulang dari penjara dia malah disambut dengan meriah bak pahlawan.
Teknik para pelaku untuk memanipulasi korban
Hal pertama yang dilakukan para pelaku untuk memikat korban adalah sudah pasti dengan iming-iming atau manipulasi. Entah itu mulai berupa makanan, uang, sampai ponsel. Bisa juga dengan memperlihatkan anak-anak video p*rn* karena kita tahu anak-anak memiliki sifat ingin tahu yang besar. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah atau pesantren termasuk tempat penitipin anak serta panti asuhan juga tak jarang menjadi kedok beberapa orang untuk mendapatkan korban. Perkembangan internet dengan medsosnya juga menjadi umpan para pelaku memperoleh korban-korbannya dengan jauh lebih mudah. Usai memanipulasi korban biasanya diikuti dengan ancaman supaya tidak menceritakan perbuatan pelaku. Pada beberapa pelaku bahkan ada yang sampai menghabisi nyawa korban supaya korban tutup mulut.
Tips mendidik anak menghindari dan saat menghadapi pelecehan s*ksual
1. Ajarkan anak-anak untuk mengenal bagian tubuhnya yang termasuk wilayah pribadi. Mudahnya bagian tubuh yang tertutup baju renang adalah wilayah pribadi yang orang lain tidak boleh menyentuhnya tanpa ijin.
2. Jalin komunikasi terbuka dengan anak. Ajarkan anak-anak untuk mau bercerita secara terbuka kepada orang tuanya terhadap kejadian yang baru saja mereka alami. Anak-anak sebenarnya bukanlah individu yang bisa menyimpan rahasia dengan baik karena mereka kadang belum bisa membedakan rahasia atau bukan seperti halnya orang dewasa. Kalau kita sebagai orang tua cukup terbuka dengan anak sebenarnya mudah saja untuk mengorek keterangan jika anak mengalami sesuatu.
3. Amati dengan teliti dengan siapa saja anak bergaul. Bergaul dalam hal ini bukan saja dengan teman-teman riilnya tapi lihat juga teman-teman virtualnya di medsos. Sudah saya sering melihat seorang anak terlihat kalem di rumah tapi di beranda FB-nya ternyata dia suka mengumpat dan mencaci maki orang serta kelakuan tidak terpuji lainnya.
4. Jangan berikan smartphone kepada anak tanpa pengawasan penuh atau aktifkan child lock jika memang terpaksa anak harus menggunakannya. Untuk komputer bisa menggunakan DNS internet sehat. Meski tidak 100% aman tapi cara ini lebih baik daripada tidak pakai sama sekali. Banyak orang tua sekarang merasa anaknya ketinggalan jaman jika tidak memiliki smartphone. Saya sudah sering bertemu anak-anak perempuan SD dan SMP mengobrol tentang koleksi film b*k*p di ponsel mereka tanpa rasa malu di depan saya seolah-olah itu hal biasa.
5. Ajarkan anak untuk mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang sekitar jika mereka mengalami pelecehan s*ksual.
Dampak pelecehan s*ksual buat anak-anak:
1. Trauma psikologis berupa rasa takut, malu, dan depresi. Banyak anak yang mengalami pelecehan s*ksual kemudian memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena malu.
2. Trauma fisik. Kesakitan dan luka pada bagian tubuh atau organ s*ksual.
3. Rasa malu yang diderita keluarganya.
4. Resiko Penyakit menular seksual jika si pelaku memilikinya.
5. Resiko kehamilan dini (pada anak-anak perempuan yang sudah memasuki pubertas).Demikianlah tulisan super singkat saya tentang predator anak yang saya kumpulkan dari berbagai sumber. Sebenarnya ingin menulis lebih panjang lagi tetapi mungkin di lain waktu.
Sumber gambar: pamongreader