Budaya Organisasi

Baca Juga

Dalam hidupnya, manusia dipengaruhi oleh budaya dimana ia berada seperti nilai-nilai keyakinan dan perilaku sosial/masyarakat yang kemudian menghasilkan budaya sosial atau budaya masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada anggota organisasi dengan segala nilai keyakinan dan perilakunya dalam organisasi yang kemudian menciptakan budaya organisasi (Nimran, 1997:121).
Minat terhadap budaya organisasi muncul pada saat timbul kesadaran bahwa kerangka kerja organisasi seperti teknologi, strategi, gaya kepemimpinan dan karyawan tidak dapat dipisajkan dari landasan nilai-nilai yang hidup dan dihayati artinya rasionalitas organisasi dalam mengatur tujuan bersama tidak lepas dari posisi sentral martabat manusia (Hardjana, 1998:8).
Robbins mengatakan bahwa budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi, suatu sistem dari makna bersama (Robbins, 1996:289). Sedangkan Schein (dalam Harjana, 1998:9) menulis budaya organisasi adalah pola asumsi-asumsi dasar, bentukan, atau temuan atau pengembangan oleh suatu kelompok yang telah bekerja dengan cukup baik untuk mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal maupun internal sehingga dianggap perlu untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, berfikir dan merasakan tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Definisi lain tentang budaya organisasi oleh Jaxques yang mengatakan bahwa budaya organisasi adalah cara berfikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi dan para anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerimanya sebagain agar mereka diterima sebagai bagian organisasi/perusahaan (Dalam Nimran, 1997:121). Lebih lanjut Susanto menyatakan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan juga perilakunya di dalam organisasi. Sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. (Susanto, 1997:3).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli pada umumnya menggunakan istilah budaya organisasi (Organization Culture) untuk menggambarkan asumsi bersama tentang makna bersama, nilai, norma, sikap yang mengatur perilaku para anggota dalam suatu organisasi. Menurut Nurfarhati, beberapa penulis dan peneliti sebelumnya (Schein, 1991:Chatman & Jehn, 1994:Luthans, 1995) menggunakan budaya organisasi untuk menjelaskan budaya dalam organisasi publik maupun bisnis. Adizes (1989), Kotter at al (1991), Traampanaars (1995), menggunakan istilah budaya perusahaan. Sedangkan Denison (1990, 1996) menggunakan istilah tersebut secara silih berganti. (dalam Nurfarhati:14).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah budaya organisasi dengan pertimbangan yang dapat menggambarkan organisasi bergerak dibidang bisnis maupun public, yang meliputi antara lain: (a) Merupakan hasil belajar dalam pergaulan sosial dan tidak ada hubungannya dengan keturunan atau ciri-ciri biologis; (b) Merupakan sistem nilai yang dianut dan dihayati oleh segenap kelompok; (c) Hidup dari generasi ke generasi; (d) Mengandung sifat simbolik dan muncul atas dasar kemampuan orang-orang dalam menciptakan lambang yang mengandung nilai; (e) Mempunyai kemampuan adaptif alias dapat berubah karena merupakan manifestasi dari mekanisme adaptasi dengan lingkungan.
Robbins, (1996:289) mengemukakan tujuan karakteristik primer dari hakekat sebuah budaya organisasi yaitu: (a) Inovasi dan pengambilan resiko; (b) perhatian kerincian; (c) Orientasi orang; (d) Orientasi hasil; (e) Orientasi tim; (f)
Keagresifan; (g) Kemantapan.
Dengan menilai sebuah organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut di atas akan diperoleh gambaran majemuk dari sebuah budaya organisasi. Selanjutnya Koentjaraningrat (1994:5-7) mengemukakan bahwa paling sedikit ada tiga wujud kebudayaan antara lain: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. (c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah ide dari kebudayaan, sifatnya abstrakm tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.
Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, tape, arsi[, koleksi, microfilm dan microfish, kartu komputer, silinder dan tape komputer. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau secara singkat ada dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya sebutan tata kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberikan arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak yang luas sampai yang paling kongkrit dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah misalnya sistem nilai budaya. Lapisan kedua yaitu sistem norma-norma adalah lebih kongkrit lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia (seperti misalnya aturan sopan santun), merupakan lapisan adat istiadat yang paling kongkrit tetapi terbatas ruang lingkupnya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiir. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik, dari hari kehari dan dari tahun ketahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkrit, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sidatnya paling kongrkit dan berupa benda-benda yan amat besar seperti: suatu pabrik baja, ada benda-benda yang amat kompleks dan sophisticated seperti komputer berkapasitas tinggi, atau benda-benda yang besar dan indah seperti suatu candi yang indah, atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi yaitu kancing baju.
Schein (dalam Ndraha, 1997:1997:44) mengemukakan tingkat budaya antara lain: 1) Artifacts, struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tetapi sulit ditafsirkan, 2) Esponsed Values, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan, dan sebagainya yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Selanjutnya terdapat beberapa teori utama budaya organisasi yang telah terbatas dikalangan pemerhati budya organissi yaitu teiri yang dikemukakan oleh Kluckholhn & Strodtbeek (Robbins, 1996:50) yang mengemukakan enam dimensi budaya dasar. Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dimensi pertama adalah hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan dan tunduk atau didominasi oleh lingkungan. Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini dan masa depan.
Dimensi ketiga adalah kodrat atas sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik atau buruk atau campuran antara baik dan buruk. Dimensi keempat adalah orientasi kegiatan yang memiliki variasi adalah penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau menglaami sesuatu dan penekanan pada upaya mengendalikan kegiatan. Dimensi kelima ialah fokus tanggungjawab yang mempunyai variasi individualsitik, kelompok atau hierarkhis. Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum dan campuran antara keduanya.
Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (Robbins, 1996:55) setelah mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya yaitu individualisme dan kolektivisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian dan tingkat maskulinitas.
Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut longgar dlam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapt mengharapkan kerabat suku atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak.
Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari masayrakat menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang besar menerima catatan hierarkhis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan jastifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut jastifikasi atas perbedaan kekuasaan tersebut.
Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masharakat merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai yang melindungi penyesauian. Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang rendah menjaga suasana lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan penyimpangan bisa ditoleransi.
Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan dan keberhasilan material. Lawannya feminitas berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah dan kualitas hidup.


Ditulis oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
http://kabar-pendidikan.blogspot.com
close

UNTUK SAAT INI, ARTIKEL BLOG AKAN DITUTUPI. SEGERA KELUAR/CLOSE TAB INI ATAU TEKAN DISINI. JIKA ANDA TETAP INGIN MEMBUKA ARTIKEL INI, SILAHKAN TEKAN TOMBOL CLOSE. DENGAN ANDA MEMBUKA ARTIKEL KEMBALI, TANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA MILIK ANDA, SAYA SUDAH PERINGATI UNTUK MENUTUP TAB INI. TERIMA KASIH. - ADMIN