Konsep Pembelajaran Konstruktivistik

Baca Juga

Dalam pandangan konstruktivistik, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengelaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalui diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan didalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda (Nurhadi, 2004: 36).

Menurut Von Glaserveld, pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk pada keseluruhan obyek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia obyektif yang lepas dari pengamat. Struktur tersebut membentuk pengetahuan bila dihadapkan dengan pengalaman (Paul Suparno, 2001: 19)
Lusiana (1997) dalam Siti Annijat menyatakan bahwa pandangan konstruktivisme pada hakikatnya, manusia itu menjadi pembangun makna (meaning maker) terhadap pengalaman yang disajikan oleh lingkungan fisik dan sosial, baik yang hadir secara sengaja. Pemberian makna tersebut berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasi proses ini tidak lepas dari struktur yang telah dimiliki oleh pembelajar pada saat peristiwa balajar itu berlangsung. Jadi, dalam konstruktivisme proses belajar adalah pemberian makna oleh pembelajar terhadap pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya (2003: 54).

Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subyek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembetukan (konstruksi) yang terus menerus, terus berkembang dan berubah. Konsep-konsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat, seperti hukum Newton dalam ilmu fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang memadai. Menurut Piaget (1970;1971), sejarah revolusi sains menunjukkan perubahan konsep-konsep pengetahuan yang penting (Paul Suparno 2001: 18).

Pada dasarnya konstruktivisme menurut Von Glaserfeld (dalam Bettencourt 1989 dan Matthews, 1994) yang dikutip oleh Paul Suparno (2001: 18) merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan yang dimaksud di atas bukan suatu tiruan dari kenyataan (realitas), bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.

Yang sangat penting dalam teori konstruktivisme yang berhubungan dengan proses belajar mengajar bahwa dalam proses belajar siswalah yang yang harus mendapatkan tekanan. Mereka yang harus bertanggungjawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan, terlebih di Indonesia, kiranya sangat penting dan perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja (Paul Suparno, 2001:81).

Dalam proses belajar mengajar selama ini strategi pembelajaran di kelas didominasi oleh paham strukturalisme/ objektivisme/ behaviorisme yang bertujuan siswa mengingat informasi yang faktual. Buku teks yang dirancang, siswa membaca atau diberi informasi, lalu terjadi proses memorisasi. Tujuan-tujuan pembelajaran dirumuskan sejelas mungkin untuk keperluan merekam informasi. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktivitas belajar mengikuti buku teks, tujuan pembelajaran menekankan pada penambahan pengetahuan. Dan, seseorang dikatakan telah belajar apabila ia mampu mengungkapkan kembali apa yang telah ia pelajari.

Sedangkan menurut paham ini (konstruktivisme), manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuan sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan itu rekaan dan tidak stabil. Oleh karena itu pengetahuan adalah konstruksi manusia dan secara konstan manusia mengalami pengalaman-pengalaman baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang kita peroleh senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman kita akan semakin mendalam dan kuat jika diuji melalui pengalaman-pengalaman baru.

Konsep Pendidikan Konstruktivistik
Bagian yang paling penting dalam pendidikan formal di sekolah adalah membantu peserta didik untuk mengetahui sesuatu, terutama pengetahuan. Secara sederhana bagaimana membantu anak didik untuk menguasai bahan pelajaran. Hal yang membicarakan tentang pengetahuan sering disebut epistemologi (Paul Suparno, 2001:15).

a. Dunia alam dan ilmu pengetahuan
Popper (1973) seperti yang disampaikan oleh Paul Suparno (2001:17) membedakan tiga pengertian tentang alam semesta, yaitu:
1) Dunia fisik atau keadaan fisik
2) Dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku
3) Dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pemikiran ilmiah, puitis dan seni.
Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Paul Suparno, 2001:17).

b. Hakikat pengetahuan
Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi dari kenyataan dunia yang terlepas dari objektivitas. Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini terutama dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subyek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan konstruksi yang terus menerus, terus berkembang dan terus berubah. Konsep-konsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat harus diubah karena sudah tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang memadai.

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) diri kita sendiri (Paul Suparno, 2001: 18). Ia menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.

Para konstruktivis menegaskan bahwa satu-satunya alat atau sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium dan merasakannya. Dari sentuhan inderawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru kepada orang lain (murid). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Paul Suparno, 2001: 19).

Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman kognitif mental.

Pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama, bila seseorang berbicara tentang dirinya sendiri, lingkungan itu menunjuk pada keseluruhan obyek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada sekeliling hal itu yang telah diisolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun sekelilingnya merupakan lingkungan pengalaman kita sendiri, bukan dunia obyektif yang lepas dari pengamat.

Struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam mengahadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam mengahadapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konsepsi tersebut (Von Glaserfeld dalam Matthews, 1994, dikutip oleh Paul Suparno, 2001:19).Bila konsep ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-macam persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang akan hal itu.

Para konstruktivis beranggapan pengetahuan bukanlah tertentu yang deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Mereka juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya.

Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek
2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan, bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Glaserfeld dan Kichener dalam Paul Suparno, 2001)

c. Realitas dan Kebenaran
Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Menurut Bettencourt (1989), memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat (Paul Suparno, 2001: 21).

Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut (Paul Suparno, 2001:22).



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com
close

UNTUK SAAT INI, ARTIKEL BLOG AKAN DITUTUPI. SEGERA KELUAR/CLOSE TAB INI ATAU TEKAN DISINI. JIKA ANDA TETAP INGIN MEMBUKA ARTIKEL INI, SILAHKAN TEKAN TOMBOL CLOSE. DENGAN ANDA MEMBUKA ARTIKEL KEMBALI, TANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA MILIK ANDA, SAYA SUDAH PERINGATI UNTUK MENUTUP TAB INI. TERIMA KASIH. - ADMIN